Email Yang Masuk Tadi Malam

Kamu jangan terlalu sering menandai tulisan kepada para penulis kawakan. kalau redaktur, tak apa. masalah pertama adalah para penulis itu pada dasarnya narsis. aku memahaminya dari para pelukis. keduanya memiliki level obsesi yang sama terhadap karya mereka sendiri dan hampir tidak peduli dengan karya orang lain. apalagi kalau kamu masih belum memiliki level reputasi yang sama dg mereka.

Mendapat Undangan Kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)

Saya baru saja tiba di kos dan sedang duduk-duduk di atas dipan ketika mereka berucap salam tepat di muka pintu kamar. kedua wajah itu tidak asing. mereka adalah orang-orang pertama yang menjamu saya dengang sangat baik ketika saya memasuki lingkungan kuliah. mereka adalah orang-orang yang mengajarkan saya tentang pentingnya manajemen waktu dan juga integritas sosial. ada sebuah adigum: guru yang biasa memberi tahu, guru yang baik mencerahkan, sedang guru yang hebat mengilhami. sejak berhubungan dengan mereka, saya tahu mereka adalah jenis guru nomer tiga.

SATU DEKADE

*Editorial Reuni ke IV Alumni 2004 SMP N 2 Kota Mojokerto
(Juga Persembahan Bagi Siapa Saja yang Ingin Mengenang Masa-masa “Jahilliyahnya”)

Pengalaman mengajarkan kita bahwa kualitas sebuah perjumpaan tidak melulu bergantung pada kapan dan di mana kita bertemu. Sekitar sebelas tahun yang lalu, kita sama-sama belum merasa perlu membayangkan bahwa di antara kita nanti harus menggendong seorang anak kecil saat sebuah pertemuan sederhana namun ngangenni seperti ini terjadi. Lalu kita bilang pada teman di sebelah,”Hey, si kecil ini sedang belajar untuk mengucap frase mama-papa lho.”

Kenapa Harus Kartini?


Nama R.A.Kartini, muncul pertama kali di benak saya ketika saya masih duduk lucu di bangku suatu Taman Kanak-kanak tak jauh dari tempat saya tinggal. Anda tahu, di usia tersebut anak-anak akan cenderung memasukkan apa saja ke dalam otaknya tanpa perlu mencantumkan bab analisa di dalamnya. Langsung kesimpulan. Buku sejarah sekolah saya imani. Perintah sekolah untuk siswa agar memakai baju adat saat Hari Kartini juga saya turuti tanpa banyak bertanya.

Namun seiring bertambahnya usia yang diikuti pula oleh bertambahnya jumlah referensi sejarah yang saya baca, saya mulai berani menawarkan pertanyaan,”Kenapa harus dan hanya Kartini? Dan kenapa bukan yang lain?”

Cina atau Tionghoa?: Meralat Stereotype

Saya terlahir dalam budaya Jawa yang lumayan kental, meski, nyatanya, salah seorang kakek saya ada yang non Jawa. Ia terlahir dengan mata sipit dengan kulit kuning langsat yang cerah. Para tetangga lebih suka memanggilnya, ‘Cina’.


Sampai saya SMP, saya tidak pernah tahu kenapa dia dipanggil begitu. Hanya saja Kakek berikut anak-anaknya tidak pernah nyaman dengan sebutan tersebut. Baru menginjak usia SMP saya sadar kenapa Kakek tidak nyaman. Bagi Kakek, Cina berarti bukan pribumi. Dan bukan pribumi berarti orang asing. Masalahnya adalah, siapa sih yang mau diasingkan?

Resolusi: Meubah Sebuah Tahun

Saya selalu gusar ketika ditanya teman-teman di kampus, apa yang akan saya lakukan demi menyambut Tahun Baru. Saya bilang, saya belum pernah memiliki ritual khusus untuk menyambutnya. Lagipula itu hanya sebuah tanggal 1 Januari. Tidak berbeda dengan 1 Februari ataupun 1 April.


Dan memang, rasanya sangat sulit menemukan sesuatu yang bernilai dari perayaan Tahun Baru di sini. Maksud saya, apa yang bisa kita dapat dari membakar ratusan kembang api, beramai-ramai pergi ke café, tempat karaoke, atau club, atau sekadar keluar jalan-jalan ke pusat keramaian, lalu mendapati esok paginya sebagian besar dari kita terlambat bangun untuk Shalat Subuh, pergi ke Sekolah Minggu, atau pergi sembahyang ke Vihara? Tidak ada, saya kira.

Menengok Toilet


Kita mungkin pernah melihat bangunan yang dari luar terkesan waah, tapi dari dalam bagai kapal pecah. Logika kebalikan berlaku di sini. Ada juga bangunan yang dari luar biasa-biasa saja namun dari dalam tampak asyik dan bikin betah. Dari situ, kita mulai bisa membedakan antara seni arsitektur eksterior dengan desain interior.

PKKMB: Mahasiswa Ngga’ Cuma Tentang Kuliah, Tidak Pula Unjuk Rasa


Jika ada yang bilang bahwa lulus SNMPTN atau SPMB atau jalur apapun demi masuk perguruan tinggi merupakan sebuah kemenangan yang patut dirayakan, maka itu tidaklah salah. Kita berhak merayakan apa saja yang kita inginkan bahkan jika itu merupakan satu kemenangan kecil. Mendapatkan kenalan cakep pas mengikuti PKKMB, misalnya. Hehehe^^ 

Jika kita merasa itu layak dirayakan, ya monggoh-monggoh saja. Ini negara merdeka, brur. Lagipula kalau kita ingat sudah berapa lama kita mendem perasaan ingin masuk perguruan tinggi hanya untuk menyandang terma Mahasiswa, maka lulus tes masuk perguruan tinggi juga bisa dikatakan sebagai suatu kemenangan yang lumayan.

“Nah loh, kuk lumayan? Tes masuknya susah, tau!” sergah kawan sebelah tidak terima. Naga-naganya situ Maba yah, Mahasiswa Baru?

Liburan Murah Menuju Pemandangan Surgawi: Laguna Seharga Rp 70.000,00



Sempu, 17 Juni 2011
Sekali ini saya ingin menghindari bicara politik, urusan asmara, dan lain sebagainya yang berpotensi membuat saya jadi ngrasani orang lain. Ini bulan Syawal, bulan seusai bulan Ramadan di mana kita selama sebulan digembleng untuk mengurangi segala hal yang buruk-buruk termasuk kebiasaan ngrasani orang meski itu adalah anggota dewan yang serba nggilani sekalipun.