Cina atau Tionghoa?: Meralat Stereotype

Saya terlahir dalam budaya Jawa yang lumayan kental, meski, nyatanya, salah seorang kakek saya ada yang non Jawa. Ia terlahir dengan mata sipit dengan kulit kuning langsat yang cerah. Para tetangga lebih suka memanggilnya, ‘Cina’.


Sampai saya SMP, saya tidak pernah tahu kenapa dia dipanggil begitu. Hanya saja Kakek berikut anak-anaknya tidak pernah nyaman dengan sebutan tersebut. Baru menginjak usia SMP saya sadar kenapa Kakek tidak nyaman. Bagi Kakek, Cina berarti bukan pribumi. Dan bukan pribumi berarti orang asing. Masalahnya adalah, siapa sih yang mau diasingkan?

Resolusi: Meubah Sebuah Tahun

Saya selalu gusar ketika ditanya teman-teman di kampus, apa yang akan saya lakukan demi menyambut Tahun Baru. Saya bilang, saya belum pernah memiliki ritual khusus untuk menyambutnya. Lagipula itu hanya sebuah tanggal 1 Januari. Tidak berbeda dengan 1 Februari ataupun 1 April.


Dan memang, rasanya sangat sulit menemukan sesuatu yang bernilai dari perayaan Tahun Baru di sini. Maksud saya, apa yang bisa kita dapat dari membakar ratusan kembang api, beramai-ramai pergi ke café, tempat karaoke, atau club, atau sekadar keluar jalan-jalan ke pusat keramaian, lalu mendapati esok paginya sebagian besar dari kita terlambat bangun untuk Shalat Subuh, pergi ke Sekolah Minggu, atau pergi sembahyang ke Vihara? Tidak ada, saya kira.