SATU DEKADE

*Editorial Reuni ke IV Alumni 2004 SMP N 2 Kota Mojokerto
(Juga Persembahan Bagi Siapa Saja yang Ingin Mengenang Masa-masa “Jahilliyahnya”)

Pengalaman mengajarkan kita bahwa kualitas sebuah perjumpaan tidak melulu bergantung pada kapan dan di mana kita bertemu. Sekitar sebelas tahun yang lalu, kita sama-sama belum merasa perlu membayangkan bahwa di antara kita nanti harus menggendong seorang anak kecil saat sebuah pertemuan sederhana namun ngangenni seperti ini terjadi. Lalu kita bilang pada teman di sebelah,”Hey, si kecil ini sedang belajar untuk mengucap frase mama-papa lho.”

Tentu saja adegan semacam itu belum sempat terjadi. Tapi, setidaknya, seseorang atau malah setiap dari kita sudah sempat membayangkannya. Aku yakin. Lagipula itu lucu, mengingat sekitar satu dekade yang lalu salah seorang dari kita masih memiliki kepercayaan bahwa bayi-bayi terlahir-keluar lewat pusar yang dengan sebuah suntikan ajaib kemudian bisa terbuka sendiri, jadi bukan lewat sesuatu yang sesuatu banget itu. Hehe

Selalu saja ada kepolosan masa silam yang berhak kita tertawakan bersama, memang. Namun waktu sepertinya berjalan dengan cepat. Seolah-olah mendadak beberapa di antara kita sudah berseragam polisi, menjadi manajer perusahaan besar di Jakarta, sibuk di bank, memilih tinggal di pulau orang, bekerja di dinas-dinas negara, membuka usaha kuliner, dan bahkan, aku yang dulu paling suka ngedumel ngerasani dan sempat sekali kena tampar guru ini pun pada akhirnya sekarang kwalat, hingga harus mengajar di sebuah sekolah kristen swasta dan salah satu kampus bidan di Surabaya. Kata orang-orang, kegiatan mengajar di kampus seperti itu disebut dosen. Entahlah, pemuda kikuk seperti ini. Hanya saja, aku yakin beberapa dari kalian masih ingat bagaimana rupa tulisan tanganku waktu SMP dulu. Sama seperti saat kalian ulangan harian bersamaku, siswa-siswiku juga mengeluhkan rupa tulisan tanganku sekalipun itu aku tulis di atas papan-putih besar. Menyedihkan sekali...

Meski begitu, selain wujud tulisan tanganku yang mengharukan itu, ada juga yang dari dulu tidak pernah berubah. Kalian tahu, dari yang tak pernah berubah itu, seorang teman kita meyakini bahwa selera musik bisa diwariskan kepada anak-cucunya sebagaimana ilmu agama.  Sewaktu berkumpul dia masih suka memutar lagu “I Miss U But I Hate U” dan mengenakan sebuah jaket bertuliskan jargon “Plur”. Seingatku itu lagu yang populer sewaktu kita masih berseragam putih-merah. Sejak bertemu di SMP kita sepakat bahwa dia adalah Slanker. Selain itu ada juga yang secara sadar tidak mau berubah karena ingin memertahankan reputasinya, sekalipun itu adalah ‘selalu datang terlambat’. Kalian tahu kan siapa yang sedang kita bicarakan? Ah, sudahlah.

Di antara kita dulu, kita ingat, mungkin banyak yang karena terilhami oleh lagu Kak Ria dan Boneka Susan akhirnya memutuskan untuk memiliki cita-cita menjadi seorang dokter. Biar bisa suntik orang lewat, katanya. Beberapa di antaranya sukses menggenapinya dan saat ini sedang serius menjalani co-ass. Meski, memang lebih banyak lagi yang tidak meneruskan mimpi itu sebab beranggapan kalau dokter adalah profesi yang paling sering mendoakan agar orang-orang banyak yang jatuh sakit. Orang-orang yang insyaf tidak mau jadi dokter ini pun akhirnya memutuskan untuk jadi dukun. Hehe (no offense!)

Tapi percayalah, tidak ada yang salah dengan merubah cita-cita. Itu sama sekali berbeda dengan ketika seseorang berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Setidaknya, kita tidak perlu repot-repot ke kelurahan merubah profil KTP untuk sekadar merubah cita-cita. Toh, kita selalu bertemu tetap dengan status sebagai teman lama. Bukan sebagai jaksa penuntut yang ingin memvonis kita sebab membelot dari apa yang kita cita-citakan. Aku sendiri tidak yakin ada yang ingat cita-cita antara teman satu dengan yang lainnya. Karena itu pula pertanyaan yang paling sering kita lontarkan adalah: Kok tambah gendut?; Tambah kurus?; Kapan nikah?; Kerja di mana?; Sibuk apa?; Kuliah di mana?; Oya, namamu siapa?” (khusus pertanyaan terakhir ini aku harap orang yang menggunakannya segera dimusnahkan atau setidaknya dicap “kafir”)

Seperti kereta, kita hanya tahu bahwa waktu yang kita naiki hanya berjalan maju, tak bisa mundur. Kalaupun ingin, kita hanya bisa melihat ke belakang untuk mengenang setiap rel yang pernah kita lewati. Jika sudah begitu, pertemuan kecil ini semacam perangkat yang mampu memutar rekaman perjalanan kita satu-satu. Dengan memutarnya semakin jauh hanya akan membuat kita semakin sulit percaya bahwa kita dulu hanya sekumpulan anak-anak yang doyan bakso kanji seharga 500-an dan nasi pecel khas kantin Bu Naryo yang tak lebih mahal dari seribu rupiah. Aku sendiri ragu, apa Si Ibu ini sampai sekarang masih suka sibuk melayani permintaan Es Marimas yang cenderung mengalami peningkatan demand[1] menjelang istirahat kedua? Apa Cak Dibyo masih suka ngomel sebab anak-anak asal saja saat memarkir sepeda? Dan apakah Pak Amir masih suka gemas berburu siswa-siswa yang kabur lewat pagar mushola demi untuk bisa main bola di alun-alun kota pada jam pelajaran, seperti yang sering kita lakukan dulu? Kalian ingat, itu adalah kisah-kisah paling jahilliyah sekaligus paling menyengankan yang pernah kita lewati.

Pada akhirnya, kita memang tidak pernah bisa menebak kapan dan di mana perjalanan kereta kita berhenti. Tapi setidaknya kita masih bisa berharap sesekali waktu dapat bertemu pada sebuah gerbong yang sama untuk kemudian memutar lagi kenangan ini bareng-bareng. Percaya saja, yang menentukan kualitas perjumpaan kita bukan lagi kapan dan di mana kita bertemu. Melainkan kenangan apa yang bisa kita dapatkan setelah kita berpisah darinya. Salam...

Syah
04.35 – Sabtu, 18 Agustus 2012. Selesai pulang dari warung kopi bareng kalian.


[1] Istilah yang kita dapat dari Bu Nurul yang mengajar ekonomi kelas 2.

2 komentar:

  1. bang, lama tak bersua... piye kabare?
    btw, if you dont mind i have mentioned your name as one of the award winner in my blog. you can visit here (http://rezzaedjaa.blogspot.com/2012/08/oke-award-pertama.html)

    BalasHapus
  2. okay... thanks for welcoming me, bro...

    BalasHapus