Nama R.A.Kartini, muncul pertama kali di benak saya ketika saya masih duduk lucu di bangku suatu Taman Kanak-kanak tak jauh dari tempat saya tinggal. Anda tahu, di usia tersebut anak-anak akan cenderung memasukkan apa saja ke dalam otaknya tanpa perlu mencantumkan bab analisa di dalamnya. Langsung kesimpulan. Buku sejarah sekolah saya imani. Perintah sekolah untuk siswa agar memakai baju adat saat Hari Kartini juga saya turuti tanpa banyak bertanya.
Namun seiring bertambahnya usia yang diikuti pula oleh bertambahnya jumlah referensi sejarah yang saya baca, saya mulai berani menawarkan pertanyaan,”Kenapa harus dan hanya Kartini? Dan kenapa bukan yang lain?”
Namun seiring bertambahnya usia yang diikuti pula oleh bertambahnya jumlah referensi sejarah yang saya baca, saya mulai berani menawarkan pertanyaan,”Kenapa harus dan hanya Kartini? Dan kenapa bukan yang lain?”
Saya harap anda tidak buru-buru berprasangka buruk dalam rangka menanggapi pertanyaan polos tersebut. Saya sama sekali tidak meragukan Ibu Kartini dengan segala fakta dalam buku-buku sejarah sekolah yang pernah saya baca. Bahwa beliau lahir dan besar di sebuah keluarga ningrat Jawa. Bahwa Ayahanda beliau merupakan seorang Raden Mas yang berani menentang arus tradisi dengan menyekolahkan anak perempuan tertuanya tersebut hingga umur 12 tahun;.Dan bahwa beliau merupakan sedikit dari sekian wanita pribumi di waktu itu yang mampu berbahasa Belanda yang selanjutnya memungkinkan dirinya untuk memiliki sahabat pena dari native speaker bahasa tersebut, Rosa Abendanon.
Dari nona Abendanon inilah Ibu yang terlahir pada 21 April tersebut mengenal cara pandang wanita Belanda yang menurutnya menarik sebab sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang ia kenal di tanah air. Saat itu, di Belanda, status gender jauh lebih egaliter jika dibandingkan dengan yang ada di sini. Di sana posisi wanita bukan lagi hanya sebagai subordinat (pelengkap) sebagaimana nasib kebanyakan wanita pribumi waktu itu.
Buku sejarah sekolah saya (dan mungkin juga buku sekolah anda) menyebut Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Anda tahu, itu adalah suatu gagasan yang menafikan pelemahan hak-hak wanita atas dominasi laki-laki dalam tradisi patriarki. Emansipasi sendiri dapat diartikan sebagai gerakan menuntut hak-hak yang sama tanpa melihat gender, agama, atau kelompok ras tertentu.
Ibu Kartini dianggap mengagumkan justru karena beliau sendiri lahir sebagai gadis Jawa di mana tradisi patriarki tersebut dijunjung sakral dan nyaris tanpa gugatan. Yang menarik, meski sebagai tokoh yang membawa gagasan baru dari negeri seberang ke dalam tradisi yang sempat mengungkungnya, beliau masih menunjukkan suatu kecintaan terhadap unsur-unsur kelokalan yang kuat. Salah satu contoh yang kasat mata adalah dalam hal berbusana. Barangkali itulah yang menjadi alasan kenapa pada saat hari Kartini para wanita Indonesia sering merayakannya dengan memakai kebaya atau baju tradisional lainnya –bukan dengan cardigans dan celana jeans.
Sampai sini, saya benar-benar tak memiliki bukti sejarah yang mampu menyangkal semua fakta sejarah tersebut. Dan kalaupun ada, saya bahkan tak menemukan manfaat apapun jika satu saat nanti fakta-fakta sejarah tersebut dirubah. Anda tahu, manfaat suatu kajian wajib dicantumkan dalam suatu rangka penelitian. Sedang yang saya tahu, menemukan kesimpulan sejarah baru harus melewati penelitian yang mendalam dan itu tidak murah. Karena itu, harus ada manfaat besar yang bisa diambil dari usaha pengkajian tersebut. Jadi saya harap anda jangan terlanjur berprasangka kalau saya mau mengkudeta Ibu Kartini dari gelarnya dan menggantinya dengan Ibu saya. Percayalah, saya tidak sedang membandingkan beliau dengan pengurus PSSI.
Saya lebih tertarik untuk mengusik Sang Pemegang Titah yang dari awal menetapkan Ibu Kartini sebagai pelopor emansipasi. Kenapa Kartini? Kenapa bukan Ibu Rohana Kudus atau Dewi Sartika? Atau kalau kita mau sedikit lebih jauh menatap ke belakang, kita akan menemukan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, Cutpo Fatimah, dan masih banyak lagi yang meskipun di jamannya belum mengenal istilah emansipasi maupun feminisme untuk mereka perjuangkan, peranan mereka dalam perjuangan melawan penjajah patutnya bisa dipandang sebagai simbol sejajarnya antara pejuang wanita dengan pejuang laki-laki di nusantara.
Sebuah hipotesa pun muncul: karena ibu Kartini menulis. Namun hipotesa tersebut langsung gugur dengan adanya fakta bahwa Rohana Kudus juga menulis. Dan jika ibu kartini cenderung hanya berorientasi pada pendidikan formal wanita, Ibu Rohana Kudus memiliki pandangan yang lebih luas tentang bagaimana mendidik wanita modern –beliau mencetak koran wanita pertama di Hindia-Belanda sebagai orang pribumi.
Kemudian, dengan diperkuat argumentasi dari eks-pemerintahan Hindia-Belanda, hipotesa kedua menyusul: karena pemikiran Kartini melampaui wanita Indonesia yang umum di jamannya. Tapi sayangnya hipotesa ini pun masih lemah. Masalahnya, Dewi Sartika dan Siti Aisyah We Tenriole sudah melakukan apa-apa yang oleh putri kandung R.M.A.A.Sosroningrat tersebut baru melakukannya dalam taraf pemikiran. Hal ini lebih dikarenakan oleh usia beliau yang terbilang sangat pendek. Beliau meninggal di usia 25 tahun.
Gagalnya kedua hipotesa tersebut memancing saya untuk ikut mengajukan hipotesa lain mengenai mengapa Kartini yang dipilih sebagai tokoh emansipasi: ada semacam pengkondisian dari pemegang titah pimpinan waktu itu untuk membentuk pribadi wanita Indonesia yang ideal (menurutnya).
Anda tahu, yang menetapkan R. A. Kartini sebagai tokoh emansipasi dan meminta agar setiap tahun di hari kelahiranya dirayakan sebagai hari nasional tak lain ialah Ir, Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Dan jika saja kita mau jeli, Bung Karno merupakan seorang pengagum wanita cerdas namun di saat bersamaan tetap memiliki karakter pribumi yang kental. Lihat saja, kita akan menemukan karakter yang sedikit-banyak mirip dengan Ibu Kartini dalam sosok ibu fatmawati dan istri-istri Bung Karno yang lain. Mereka cantik, berpendidikan tinggi, serta memiliki wawasan yang luas baik yang mencakup nasional maupun dunia internasional. Sikap mereka terhadap nilai-nilai yang dimiliki bangsanya pun sama, mereka masih tetap menjunjung tinggi kearifan lokal.
Dan entah sebuah kebetulan atau bagaimana saya harus menyebutnya, sebagaimana istri-istri Bung Karno, Ibu Kartini juga tidak menolak poligami atas dirinya. Beliau merupakan istri keempat dari bupati rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Korelasi antara dua fakta di atas memancing satu lelucon untuk dimunculkan: bahwa bisa jadi, selain menjadi tokoh emansipasi, Ibu Kartini akan menjadi salah satu Ibu Negara kesayangan Bung Karno jika saja mereka berdua hidup di jaman yang sama.
Katakanlah saya beruntung, yang menyebabkan hipotesa ngawur di atas dibenarkan lewat suatu undian dengan cara mengambil kertas gulung bertuliskan nama saya di dalamnya, lalu apakah semua akan setuju dengan Bung Karno? Apakah bahwa wanita ideal yang patut jadi panutan semua wanita modern Indonesia saat ini dan nanti adalah Ibu Kartini? Dan dengan alasan itulah beliau tetap layak menjadi tokoh emansipasi kita?
Tentu anda bisa menjawab iya atau tidak. Atau justru tidak menjawab sama sekali. Sebagian dari anda mungkin menganggap R.A. Kartini tetap pantas menyandang gelar pahlawan emansipasi Indonesia. Sedang sebagian lagi dari anda menganggap bahwa Ibu Dewi Sartika atau Ibu Rohana Kudus yang lebih pantas mendapat gelar tersebut. Ya, ini Negara merdeka. Di sini anda bebas menjawab apa saja atas suatu pertanyaan asal bisa memertanggungjawabkannya.
Namun bagi saya pribadi, siapa pun karakter yang nantinya dianggap paling ideal untuk menyandang gelar tersebut, yang jelas, Ibu Kartini tetaplah seorang tokoh besar. Maksud saya, jika lewat suatu penelitian sejarah yang mendalam yang menyatakan bahwa tokoh emansipasi bukan lagi beliau, saya akan tetap mengagumi Ibu Kartini sebagai wanita mengagumkan dengan nama yang harum –apapun statusnya. Lagipula, saya tak pernah menemukan sumber sejarah yang menyebutkan bahwa Ibu Kita Kartini terobsesi dengan gelar pahlawan tersebut. Jadi, menjelang hari Kartini nanti, silahkan pilih tokoh emansipasi versi anda sendiri jika ada.
3.14 WIL (Waktu Indonesia Bagian Lidah Wetan)
Wah, masuk mas.. sepertinya timbangan yang ditulis masuk banget.hehehe, berarti?? Bung Karno ya sumbunya :))
BalasHapusluar biasa
BalasHapusluar biasa atas opininya, hal ini juga telah sering saya bahas dengan guru2 saya dulu sewaktu saya melaksakan Pendidikan di tingkat SMP dan STM.
BalasHapusinilah salah satu bukti menyimpangan sejarah yang ada, saya pribadi bukan mengatakan ibu Kartini tidak hebat, tapi kenapa mesti ibu Kartini? mengapa pemimpin2 negara ini tidak bisa berpikiran bijak dan menerima kenyataan, bahwa diluar pulau jawa sebenarnya masih banyak yang lebih dan lebih dari yang selama ini di jadikan panutan, kenapa sejarah selalu ditutupi.
Sadarlah wahai penguasa negeri Indonesia tercinta ini, sekarang negeri anda adalah Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bukan kerajaan Majapahit yang telah lama pudar.
Artikel yang sangat baik. Terimakasih ...
BalasHapus