Liburan Murah Menuju Pemandangan Surgawi: Laguna Seharga Rp 70.000,00



Sempu, 17 Juni 2011
Sekali ini saya ingin menghindari bicara politik, urusan asmara, dan lain sebagainya yang berpotensi membuat saya jadi ngrasani orang lain. Ini bulan Syawal, bulan seusai bulan Ramadan di mana kita selama sebulan digembleng untuk mengurangi segala hal yang buruk-buruk termasuk kebiasaan ngrasani orang meski itu adalah anggota dewan yang serba nggilani sekalipun.



Saya hanya tidak mau dampak baik usai bulan Ramadan cepat-cepat hilang. Lagipula, saya juga mulai penat dengan hiruk pikuk nan mbulet macam kedua urusan di atas. Percayalah, kali ini saya tidak akan terpancing untuk ngrasani Om Marzuki Ali yang belum lama ini melontarkan usulan agar seluruh biaya kampanye tiap partai politik dibiayai oleh APBN. Gendeng! Saya juga tidak ingin bercerita bahwa saya sempat dekat dengan beberapa gadis dan semuanya mengecewakan. Saya akan membagi cerita dengan topik lain yang lebih menyenangkan. Liburan murah meriah, misalnya.


Sebenarnya ini merupakan perjalanan pada 17 Juni yang lalu. Meski sama-sama liburan ke tempat yang indah, saya tidak akan menceritakan liburan di Bali pada tanggal 24 Juli lalu yang terhitung lebih baru. Karena memang itu bukan liburan yang murah. Dan percaya atau tidak, liburan dengan biaya pas-pas an itu ternyata lebih seru lo.


Tidak sampai genap seminggu sebelum hari keberangkatan saya bersama tujuh kawan kampus yang lainnya merencanakan liburan ini. Dengan persiapan mental dan bekal seadanya itu, kami menuju Pulau Sempu, Pulau konservasi yang tak dihuni oleh seekorpun manusia.


Meski hanya dihuni oleh para kera dan kucing hutan serta binatang liar lainnya, kami penasaran oleh cerita kawan-kawan kami yang sudah lebih dulu ke sana. Bahwa pulau yang ada di selatan kabupaten Malang tersebut menyimpan sebuah harta karun berupa pemandangan yang menakjubkan.


Terprovokasi oleh foto-foto mereka, kami bertekad ingin melakukan hal yang sama. Bahwa kami juga bisa menakhlukan pulau liar ini dengan hanya menghabiskan dana Rp 70.000,00 saja. Itu juga sudah termasuk bekal di dalam pulau selama tiga hari. Bandingkan dengan total pengeluaran saya di Bali kemarin yang mencapai Rp 900.000,00 untuk dua orang selama tiga malam dan belum termasuk belanja oleh-oleh. (Huft, saya bersumpah akan mencubit pipi adik saya yang sudah membujuk saya agar memesan 2 tiket untuknya setelah ketemu dia nanti, sampai puas. Awas saja…)


Saya sangat menyarankan bagi anda yang ingin sejenak keluar dari kepenatan untuk menyambangi pulau yang masih termasuk cagar alam ini. Setelah putus asa dengan pelbagai berita mengenai banyaknya manuver politis yang membuat negeri ini semakin tidak masuk akal, saya kira anda sangat layak mendapatkan liburan yang menyenangkan. Apalagi kalau murah. ^^


Menuju Pantai Sendang Biru
Sebelum mencapai Pulau Sempu, tentu kita harus lebih dulu tahu tempat di mana kita bisa menyeberang ke sana. Tempat yang kami maksud ialah Pantai Sendang Biru, Kabupaten Malang. Dari Surabaya, kami membutuhkan waktu perjalanan kurang lebih 4,5 jam dengan bermotor. Anda bisa memangkas waktu tersebut jika melakukan perjalanan pada malam hari, karena jalanan sepi. Apalagi jika malam sedang purnama yang menambahkan suasana romantis selama perjalanan. Istimewa…


Selepas dari kota Malang kami menuju Gadang, kemudian ke arah Turen. Belum sampai desa Sumbermanjing Wetan, kami memutuskan untuk berbelanja bekal di sebuah pasar tradisional. Saya tidak ingat untuk mencatat nama pasarnya. Yang jelas, di sana kami berbelanja sereal –yang oleh karena keteledoran saya, sebelumnya sempat keliru membeli santan bubuk (hadeh -.-‘).


Kami juga membeli telur sekilo untuk dimasak di dalam pulau, panci baru untuk mengganti panci yang tertinggal di kontrakan, perlengkapan makan, minyak gas untuk membuat api unggun, dan beberapa botol air mineral.


Karena menuruti saran salah seorang kawan rombongan, saya tidak jadi berbelanja kentang. Belakangan, saran ini sangat kami sesalkan. Sebab, di dalam hutan, kami tidak memiliki asupan karbohidrat kecuali harus dengan tambahan asam benzamoat. Singkatnya, sebanyak tiga kali sehari selama tiga hari itu kami hanya bisa makan mie instant dicampur telur. Ini ceritaku, apa ceritamu? -.-‘


Selesai di pasar, kami melanjutkan perjalanan menuju selatan. Beberapa kilo saja berkendara kami masih harus berhenti lagi, mengingat kami merasa belum cukup bekal air mineral dan mie instant. Jadilah kami membeli satu kardus mie instant goreng dan satu kardus lagi air mineral botolan.


Dari Turen menuju Sendang Biru, anda akan disuguhi pemandangan perbukitan kapur yang awesome. Memasuki jalanan naik-turun nan berkelok ala pegunungan, salah seorang dari kami bahkan sampai ada yang mabuk perjalanan. Padahal cuma naik motor lo.


Kami pun sampai di Sendang Biru tepat menjelang senja, saat daun-daun pohon trembesi mulai sayup-sayup mengatup kuyup. Ah, suasana di pantai ini saja sudah sangat meneduhkan. Melihat para nelayan berkawan dengan burung Pelikan yang sama-sama menangkap ikan, saya serasa sedang membaca novel Hemmingway –The Old man and the Sea. Tapi perjalanan jelas belum selesai sampai di sini. Kami masih harus menyeberang menuju Pulau Sempu.


Berkemah Bareng Om-om
Ini merupakan salah satu alasan kenapa menentukan jumlah anggota kelompok perjalanan itu penting. Anda bisa mengira-ngira jumlah pengeluaran paling minimalis yang bisa anda usahakan. Maka kami memilih untuk berdelapan untuk ke Pulau Sempu. Sebenarnya akan lebih baik jika bersepuluh. Namun karena beberapa hal, jumlah kami berkurang. Tapi ini sudah cukup. Kenapa? Sebab saat akan menyeberang ke Pulau sempu, anda memerlukan jasa perahu yang ada di sendang biru seharga Rp 100.000,00 untuk sekali antar-jemput. Jika setelah ini anda juga berencana berlibur ke sana, pas bersepuluh (kapasitas maksimal perahu, nahkoda tidak termasuk), maka anda tinggal membagi biaya itu berdasar jumlah anggota anda. Sepuluhribu Rupiah per orang. Murah, bukan?


Sebelum menyeberang, kami lebih dulu menitipkan kendaraan. Sesampainya di Sempu, langit sudah gelap. Sementara air sedang surut. Maka kami terpaksa harus turun sebelum perahu mencapai garis pantai.
Nyebrang ke Sempu

Saat turun dari perahu boat, kaki kami pun disambut oleh karang-karang yang menyayat. Alhasil, beberapa dari kami mengalami luka gores di telapak kaki. Ini pelajaran bagi kami saat traveling di alam liar. Bahwa melepas sepatu hanya untuk menjaganya tetap kering dan bersih adalah ide yang buruk. Bagaimanapun, sepasang kaki jauh lebih beharga dari sepatu termahal manapun.


Singkat cerita, kami mecapai garis pantai saat hari sudah benar-benar didominasi warna hitam pekat. Sama sekali tidak ada pencahayaan di dalam pulau ini kecuali bulan yang sesekali muncul di balik awan.


Entah karena arogan atau memang benar-benar awam soal ini pulau, rombongan kami hanya menyiapkan satu senter utama dan hanya kebetulan saja beberapa dari kami memiliki ponsel dengan fungsi senter berpencahayaan super minim. Ditamah lagi tidak ada satupun dari kami yang hafal rute hutan untuk mencapai Segara Anakan, tujuan utama perjalanan ini. Hasilnya sudah pasti, kami tersesat dan memutuskan untuk kembali ke pantai untuk mendirikan tenda. Terlalu… -.-‘


But, upps… ternyata kami tidak sendiri! Ada rombongan lain dengan jumlah yang lebih besar juga menuju pulau ini. Merasa ada tebengan, kami tidak jadi mendirikan tenda dan berniat menunggu mereka. Di luar dugaan, ternyata rombongan yang kami tunggu merupakan kumpulan om-om yang berencana untuk memancing di Segara Anakan.


Mereka adalah para kepala cabang dari pelbagai kota salah satu perusahaan farmasi yang tergabung di Jawa Timur. Mungkin karena sudah tipikal orang tua yang cenderung mencari aman, maka mereka ikut menyarankan kami agar berkemah saja di pantai sampai hari kembali terang. Sebenarnya logis juga alasan mereka untuk bermalam di sini. Sebab lawan kami bukan saja gelap, tapi juga kucing hutan dan para kera jahil. Dan, jadilah kami berkemah bareng om-om itu meski tidak dalam satu tenda. Idih…


Mie oh Mie…
Inilah kebahagiaan sekaligus penderitaan kami dimulai. Bahagia, sebab akhirnya merasakan juga bermalam di pulau terpencil ini. Awal penderitaan, sebab inilah gerakan masal memakan mie instant oleh kami diawali di sini T.T


Saat dari tenda om-om sebelah tercium aroma ikan yang dibakar, kami hanya bisa pelan-pelan menyendoki mie goreng yang di atasnya dikasih irisan cabai. Alhamdulillah, masih bisa merasakan pedas…


“Monggoh, mas…” tiba-tiba dari belakang kami muncul beberapa pemuda yang menyodorkan ikan bakar matang di atas tikar kami. Ternyata ketiga pemuda tersebut merupakan guide para om itu. Kami pun berkenalan sambil makan ikan bakar ramai-ramai. Alhamdulillah dua kali.


Tidak hanya selesai dengan membagikan makanannya, ketiga pemuda itu juga menawarkan tendanya untuk saya pinjam. Oleh sebab kami hanya membawa satu tenda, sedang langit sesekali menurunkan hujan. Tentu saja saya tidak menolak. Alhamdulillah tiga kali.


Masih Mie Instant…
Sesampainya pagi, mendadak rombongan yang kami tumpangi semalam memutuskan untuk tidak meneruskan perjalanan. Selain karena hujan terus-terusan turun, mereka juga sudah harus sampai rumah pada sore hari. Jadi tidak akan sempat jika harus menunggu hujan sampai mereka bisa meneruskan perjalanan ke Segara Anak. Bekal mereka pun dihibahkan pada kami. Coba tebak, bekal apa itu? Tepat, kami diberi mie instant hampir satu dus!!! Kali ini mie kuah. Entahlah, saya harus alhamdullilah untuk yang keempat kalinya atau tidak. Bingung.


Dan Sandal-Sandal Itu Mulai Berguguran
Hujan masih terus turun saat kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tak ayal lagi, track yang kami lalui jadi jauh lebih berat sebab tanah yang harusnya kering menjadi lumpur. Kepleset dan jatuh tak perlu dihitung. Bahkan dengan iseng kami membuat sayembara dengan nominasi jatuh terbaik selama tracking.


Selama perjalanan, anda tidak perlu takut tersesat. Itu jika anda mampu melihat bahwa disepanjang track pasti ada bekas sepatu atau sandal yang berguguran. Kadang saya bingung dengan ulah para tracker ini. Mengaku pecinta alam tapi menjaga diri untuk tetap sopan santun pada alam dengan menjaga kebersihannya saja belum bisa.


Melihat jalan yang banyak sekali sampah, saya jadi tidak tega untuk menambahkannya lagi dengan membuang bungkus mie instant dan botol mineral kosong. Akhirnya saya masukkan semuanya ke dalam tas saya lagi, bercampur dengan baju-baju bersih yang saya bawa. Hash…


Danau Segara Anak
Hampir 3 jam kami lalui sebelum akhirnya mencapai telaga Segara Anak. Perjalanan panjang dan melelahkan. Saya pribadi sudah menggugurkan sepasang sandal selama tracking. Tapi semuanya terbayar lunas saat melihat barisan bukit karang yang menjulang tinggi di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah telaga berwarna hijau muda jika dilihat dari atas.
The Laguna from above

Saat menedekati telaga, track mulai menurun dan kami menemukan sebuah pantai berpasir putih yang menghadap langsung kepada telaga. Subhanallah… Puji Tuhan atas segala ciptaanNya. Inilah Segara Anak atau Samudera Anak jika diartikan dalam bahasa Indonesia.


Jika anda pernah menonton film The Beach, maka inilah laguna tersembunyi original milik Indonesia. Warna dasar pantai yang putih cerah serta karang warna-warni di dalamnya menyatu dengan warna air pantai hijau yang juga cerah. Ditambah lagi bebatuan karang hitam yang menjulang tinggi ala Crouching Tiger Hidden Dragon yang ditumbuhi pepohonan dengan daun warna-warni –mengelilingi laguna. Semua dimix jadi satu menjadi sebuah mahakarya yang… man, this is the Son of Sea…


Hiburan alam tidak selesai sampai di situ. Saat iseng memanjat batu karang di sebelah selatan pantai, kami disuguhi oleh pemandangan langsung ke samudera Indonesia. Ombaknya jangan ditanya, meski dari ketinggian 20 meter, ombak di bawah sana masih bikin merinding orang yang melihatnya dari atas.


The Twilight of the Laguna
Hari kedua menjelang senja, kolam Segara Anak mulai surut. Para kru kami tetap belum berhenti berpose di depan kamera sambil mencari-cari latar belakang yang bagus. Barangkali memang hanya saya seorang anggota mereka yang agak alergi dengan kamera. Ah, saya selalu buruk jika harus berhadapan dengannya (baca: kamera).
Berikut foto-foto kru kami saat hari kedua di pulau sempu.
mulai masak mie instant -.-'
Ga' ada cape'nya

hup!
Nyantai kayak di pantai... ^^


weitss, ini bukan iklan shampoo lo ya.

Senja yang ungu

The Full moon in the Rainy Laguna
Percayalah, saya bukan penikmat filem-filem Edward Cullen. Sub tema-sub tema yang saya ambil hanya kebetulan saja sesuai dengan suasana pantai segara anak yang saya dapatkan bersama kawan-kawan saya. Saat jam di ponsel menunjukkan angka 19.00 dan usai pesta mie instant yang untuk kesekian kalinya selama perjalanan, kami lalu menyiapkan tikar untuk rebahan bareng melihat langit. Bercerita hal-hal konyol, yang kadang horror.
the laguna 's gettin' dark
the sweatest darkness
 


Ada satu permainan yang benar-benar menyebalkan di kru ini. Maen Jujur-jujuran. Setiap orang mendapat giliran untuk menceritakan uneg-uneg dan kisah tabu yang selama ini ia simpan. What kind of game is that? Saya yakin, meski tema permainan ini adalah kejujuran, pasti ada salah satu dari kami yang bercerita sambil mengarang. Dan biasanya, orang itulah yang menggagas permainan ini. Then he said,”Salah maneh… Seng negatip-negatip mesthi aku maneh…” ^0^v


Well, saya tidak mau ikut campur urusan dalam negeri orang. Ada baiknya kalau main api saja. Saya pun mengajak dua oarang dari kru kami untuk mencari kayu dan sampah-sampah yang bisa dibakar. Setidaknya, kami bertiga sedikit membantu membersihkan pantai dari serakan plastik dan botol-botol mineral di sekitar pantai. Sampai api menyala, kru yang lain masih seru bercerita. Meski mencoba acuh, saya diam-diam ikut tersenyum juga mendengar kisah mereka. Ah, dasar anak muda.


Api menyala, tikar digelar lebar-lebar, baru saya ikut bergabung untuk merebahkan diri bersama kru yang lain. Wuih, pemandangan langit benar-benar sempurna. Karena jauh dari peradaban, jelas tidak ada polusi cahaya di sini. Langit seolah terpecah jadi dua dari utara sampai selatan oleh gugusan bintang bima sakti. Di kota, barisan bintang berbentuk kabut bercahaya ini tidak akan bisa terlihat karena lampu-lampu kota mengaburkan cahaya bintang. Kami bahkan beberapa kali melihat bintang jatuh.


Tidak selesai di situ saja. Dari timur, bulan pelan-pelan muncul serupa bakpao –bulat dan bercahaya sekali. Ah, mungkin benar kalau ada legenda yang bilang bahwa salah satu surga Tuhan ada yang jatuh ke bumi. Dan jatuhnya surga itu ya di sini. (lebay… lebay…)


Sayangnya persahabatan kami dengan langit tidak begitu lama sebab gerimis kembali turun. Kami berdelapan pun terpaksa masuk ke dalam tenda yang mustinya hanya berkapasitas empat orang itu. (Ngga apa-apalah, anget. ^^)


Time to Go Back
Hari ketiga di pulau sempu. Perbekalan kami sudah mulai menipis. Mie instant yang kami bawa hanya cukup untuk sarapan. Hanya beberapa saja yang bisa kami sisakan untuk dikunyah mentah saat tracking pulang nanti.


Sebelum balik dan sesudah sarapan mie instant untuk yang terakhir kalinya, saya berjanji: saya akan sangat berusaha untuk tidak makan mie lagi. Dan janji ini pun kelak bertahan sampai dua bulan. Dan sampai sekarang, saya masih malas makan mie instant lagi.^^


Oh iya, baru ingat. Karena untuk hari terakhir di Segara Anak, saya akhirnya berhasil dipaksa untuk ikut foto bareng. Dan inilah hasil foto lengkap kami berdelapan. Check this out, yow!

great jump, guys
here we are!


small hitting for the damn. hehe


Sang Koki yang Cidera Kaki
Kalau di kru ini ada yang bandel, mungkin yang paling bandel adalah koki kami. Itu tuh… yang tingginya 159 cm, berat kira-kira 55 Kg, dibungkus celana kolor WBL, dengan atasan kaus lengan panjang warna abu-abu gelap. Entah sekuat apa dia ini, yang jelas dia mampu menahan rasa perih di kakinya sambil berjalan sejauh 3 Km dengan track naik turun dan berlumpur di dalam hutan. Tanpa alas kaki!


Masalahnya ada pada telapak kakinya yang sejak hari pertama tersayat karang pada saat mendarat dari perahu. Sejak itu dia tetap keukeuh untuk tidak memakai alas kaki. Entah karena terlalu sayang dengan sandal dan sepatunya. Atau, bisa juga karena dia sedang mendalami ilmu kanuragan, dan rupanya dia gagal.


Dan terang saja saat sampai Surabaya nanti, dia harus melakukan operasi kecil. Dokter terpaksa menyayat lagi kakinya guna mengeluarkan segala hal yang tidak diperlukan di dalamnya. Semoga saja itu sudah termasuk sifat kerasnya.


Tracking saat pulang membutuhkan waktu 5 jam. Lebih lama dari saat kami berangkat. Sebab selain karena track yang semakin hancur karena diguyur hujan terus-terusan, dari kami juga ada yang cedera tadi. Tapi dibuat have fun aja. Karena ada yang cedera, saya jadi punya banyak alasan untuk berhenti dan beristirahat tanpa harus terlihat letoy. Meski belakangan baru saya tahu, bahwa seringkali berhenti justru akan menambah beban pada kaki. Yah sudahlah, terimakasih buat sang koki… Gara-gara kamu, aku hampir saja berhasil menggugurkan “kandunganku”.


Waiting for Godot
Sesampainya di pantai tempat pertama kali kami berlabuh di Sempu, rasanya saya baru terbebas dari hukuman panjang. Saya tenggelamkan kedua kaki telanjang saya ke dalam pasir basah sebab gemas oleh letihnya. Saya pun bertekad untuk makan nasi berkuah setelah keluar dari pulau ini. No more mie, no cry lah pokoknya…


Tapi kuk lama yah? Bapak kemarin yang berjanji menjemput kami belum juga datang padahal sudah ditelfon. Bagi anda yang baru akan melakukan perjalanan ke pulau sempu, saya sarankan agar jangan lupa menyimpan nomor telefon pemilik perahu yang menyeberangkan anda. Jangan lupa pula untuk mengingat-ingat nomor perahu anda. Jangan khawatir, di pulau sempu sinyal telkomsel dan indosat lumayan bagus kuk. Tapi untuk jaga-jaga, jangan gegabah menghabiskan baterai ponsel anda. Sebab, sekali lagi, di sini tidak ada sumber listrik kecuali kalau anda membawa generator sendiri.


Hampir setengah jam setelah kami menghubungi pak nelayan untuk menjemput kami. Serasa menunggu Godot. Ah, menunggu memang salah satu kegiatan yang menyebalkan. Tapi di satu waktu, kita harus tetap menunggu ternyata.


Makan Soto
Mungkin ini adalah satu-satunya sub-tema yang paling tidak menarik untuk dibaca. Tapi bagi kami berdelapan, makan nasi soto usai selama tiga hari hanya makan mie instant merupakan suatu kegiatan yang istimewa. Ah, sepertinya sudah sangat lama kami tidak menjadi manusia normal yang makan nasi. Untung saja waktu kami sampai di sendang biru, warung nasi di sana tidak sedang kehabisan logistik. Coba bayangkan kalau nasinya habis lalu ibu penjaga warungnya bilang,” Dimasakin mie goreng saja ya, mas?”
No!




Nah, itulah cerita kami tentang penjelajahan di pulau sempu. Karena dari Sendang Biru hari sudah sore, maka kami sampai di Surabaya pada malam hari. Dengan catatan kami sempat mampir ke Porong dulu untuk istirahat sejenak di rumah seorang saudara dari salah satu anggota perjalanan kami.


Sebenarnya sayang juga harus cepat-cepat kembali ke Surabaya. Kalau saja kami membawa bekal yang lebih banyak dan juga lebih layak dari sekadar mie instant, mungkin kami ingin bisa seminggu berkemah di sana. Tapi kami sudah cukup puas mengingat pengeluaran kami juga sangat tidak sebanding dengan kenikmatan yang kami dapatkan. Untuk merasakan sensasi yang tak terlupakan selama tiga hari itu kami hanya perlu menghabiskan beberapa lembar 10 ribuan.


Berikut adalah rincian seluruh pengeluaran kami
Belanja di Giant Supermarket Surabaya
  • Tabung gas kompor paravin  @Rp 10.000x4           Rp 40.000
  • Roti tawar dan snack                                            Rp 26.000
Belanja di pasar tradisional desa Turen
  • Minyak gas                                                           Rp 11.000
  • Sereal 1 renteng (energen)                                     Rp 14.000
  • Panci + belati                                                       Rp 22.500
  • Peralatan makan                                                   Rp 20.500
  • Telur 1 kg                                                             Rp 14.000
  • Cabai rawit 1 ounce                                               Rp   6.000
  • Satu kardus mie instant                                         Rp 47.000
  • Satu kardus air mineral                                          Rp 45.000
  • Parkir                             @sepeda: Rp 15.000x4   Rp 60.000
  • Karcis masuk sendang biru @orang: Rp 4.000x8    Rp 32.000

  • Total                                                                    Rp 338.000

Jadi pengeluaran per orang sampai sini hanya sekitar Rp 42.250 karena dibagi 8 orang.
Dengan mengendarai motor, setidaknya kami melakukan pengisian bahan bakar sebanyak 2 kali saat berangkat. Dan 2 kali juga saat nanti pulang. Total pengeluaran untuk pos bahan bakar sebesar Rp 50.000,00. Dibagi masing-masing 2 orang, jadi Rp 25.000,00. Saya kira anda bisa lebih berhemat lagi jika ada mobil pribadi. Cukup dengan Rp 150.000,00 untuk pulang pergi dibagi berdelapan atau bersepuluh.

Jika dijumlah, pengeluaran bahan bakar dengan semua total logistic, maka masing-masing dari kami hanya merogoh kocek Rp 67.250,00. Bulatkan saja jadi Rp 70.000,00. Sangat Murah!


Berikut ini adalah daftar nama kru kami:
Syah                as writer
Farid               as professional cameraman
Kerpus            as professional cameraman
Danny crist     as story teller
Widuri             as cook/story teller
Suci                 as cook
Satria              as fishing/firebender
Omet               as fishing/firebender

Tidak ada komentar:

Posting Komentar