Cina atau Tionghoa?: Meralat Stereotype

Saya terlahir dalam budaya Jawa yang lumayan kental, meski, nyatanya, salah seorang kakek saya ada yang non Jawa. Ia terlahir dengan mata sipit dengan kulit kuning langsat yang cerah. Para tetangga lebih suka memanggilnya, ‘Cina’.


Sampai saya SMP, saya tidak pernah tahu kenapa dia dipanggil begitu. Hanya saja Kakek berikut anak-anaknya tidak pernah nyaman dengan sebutan tersebut. Baru menginjak usia SMP saya sadar kenapa Kakek tidak nyaman. Bagi Kakek, Cina berarti bukan pribumi. Dan bukan pribumi berarti orang asing. Masalahnya adalah, siapa sih yang mau diasingkan?




Selain warna kulit dan matanya yang sipit, para tetangga juga sering menuduh Kakek dengan istilah “gak Jowo” untuk gaya hidupnya yang agak lain dari penduduk desa kebanyakan. Sepele. Dibanding kakek-kakek yang lain, kakek yang satu ini memang ‘perhitungan’ bahkan untuk anak-anaknya sendiri. Meski belakangan saya baru tahu, hal itu juga demi membangun mental anak-anaknya agar pandai mengatur uang dan hidup mandiri. Itu berbeda dengan gaya hidup ‘loman’ orang-orang desa kebanyakan.


Kakek memang perhitungan. Tapi saya akan membantah bila Kakek juga mendapat tuduhan pelit. Anda tahu, ada batas yang sangat jelas di antara keduanya.


Puluhan tahun sebelum saya lahir, dengan tabungan yang dimiliki Kakek, sebenarnya bisa saja dia membeli sawah berhektar-hektar dan menjadi tuan tanah sebagaimana para penduduk desa yang lain. Dia justru menghabiskan uangnya untuk membangun pabrik penggilingan demi bisa memberikan lapangan pekerjaan pada para tetangganya yang tidak memiliki sawah. Jika dengan catatan kebaikan ini kakek masih disebut pelit, pasti para tetangga kakek itu sangat-sangat dermawan hingga kebaikan semacam ini dianggap biasa saja.


Dengan adanya penggilingan di desa, penduduk desa tidak lagi perlu membawa hasil panennya jauh-jauh ke penggilingan di kecamatan. Atau kalau tidak, mereka harus menjual langsung gabah-gabah itu dengan harga yang rendah ke tengkulak. Mereka bahkan tidak mau tahu bahwa jika tidak ada penggilingan itu maka biaya produksi panen mereka akan jauh lebih tinggi. Dan secara otomatis, itu akan mengurangi penghasilan mereka.


Semua semata karena stoeritype ‘Cina’. Sebesar apa saja kontribusi Mbah Kaji (panggilan saya ke Kakek) pada desa, tetap tidak bisa menghapus stempel Cina (orang asing) yang terlanjur menempel sejak detik pertama dia dilahirkan. Ah, andai kita bisa memilih dilahirkan oleh siapa yang kita ingini…

***

Dua puluh satu tahun berlalu sejak saya lahir, Gusdur sempat menjabat presiden, dan saya masih mendapati bahwa sebutan Cina adalah bukan sesuatu yang menyenangkan bagi Kakek. Dan ternyata tidak hanya Kakek, banyak juga teman saya yang se-ras dengan Kakek sakit hati jika dipanggil Cina. Di sisi lain, orang-orang yang merasa dirinya pribumi, agaknya banyak yang tidak tahu bahwa menyebut temannya Cina akan dapat menyakiti hati si teman meski begitu kenyataannya.


Zaman berubah, penggolongan lama semacam ‘totok, peranakan, dan Hollands spreken’ harusnya sudah tidak lagi relevan di era digital ini. Berkat pendewasaan demokrasi, pembedaan berdasar apa pun tidak relevan lagi. Bahkan, pembedaan model lama antara hua ren dan penti ren tidak boleh lagi ada. Tapi, bukan berarti tidak ada masalah. Misalnya, dalam zaman baru ini, bagaimana harus mengidentifikasikan dan menyebut si hua ren?


Dalam bahasa Indonesia, semua sudah disepakati bahwasanya sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa dalam kamus kita berarti ‘orang dari ras Cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia’, bukan ‘orang pelit’. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku Cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ‘nonpri' atau ‘Cina'.


Memang tidak semua orang yang se-ras dengan kakek akan tersinggung sebab disebut Cina. Namun setahu saya tidak ada orang ‘Cina' yang tidak suka kalau disebut Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’Cina'. Dengan logika itu, meminjam istilah salah satu ayat al qur’an, saya kira tidak ada salahnya untuk memanggil seseorang dengan panggilan yang membuat mereka senang. Dan saya yakin agama lain juga mengajarkan bahwasanya menyenangkan hati seseorang itu adalah pahala.


Jadi, mengapa kita tetap memanggil ‘’si gendut'’ untuk orang gemuk atau ‘’si botak'’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian?


Yang masih sulit adalah justru bagaimana orang Tionghoa Indonesia sendiri menyebut dirinya dalam bahasa Mandarin? Apakah masih ’women zhong guo ren’? Atau ’hua ren’? Atau ‘Yin Ni Hua Ren’? Bagaimana pula orang Tionghoa menyebut Tiongkok dalam pengertian RRC? Masihkah harus menyebutnya dengan ’guo nei’?


Kakek saya lantas menjawab,”Aku wong Indonesia, arek Mojokerto!” ^^


Selamat Hari Raya Imlek
Gong Xi..! Gong Xi..!
Xin Nian Kuai Le,
Wan Shi Ru Yi!
Gong Xi Fat Cai 2563!

Mojokerto, 22 Januari 2012  07.57 p.m.

2 komentar: