SATU DEKADE

*Editorial Reuni ke IV Alumni 2004 SMP N 2 Kota Mojokerto
(Juga Persembahan Bagi Siapa Saja yang Ingin Mengenang Masa-masa “Jahilliyahnya”)

Pengalaman mengajarkan kita bahwa kualitas sebuah perjumpaan tidak melulu bergantung pada kapan dan di mana kita bertemu. Sekitar sebelas tahun yang lalu, kita sama-sama belum merasa perlu membayangkan bahwa di antara kita nanti harus menggendong seorang anak kecil saat sebuah pertemuan sederhana namun ngangenni seperti ini terjadi. Lalu kita bilang pada teman di sebelah,”Hey, si kecil ini sedang belajar untuk mengucap frase mama-papa lho.”

Kenapa Harus Kartini?


Nama R.A.Kartini, muncul pertama kali di benak saya ketika saya masih duduk lucu di bangku suatu Taman Kanak-kanak tak jauh dari tempat saya tinggal. Anda tahu, di usia tersebut anak-anak akan cenderung memasukkan apa saja ke dalam otaknya tanpa perlu mencantumkan bab analisa di dalamnya. Langsung kesimpulan. Buku sejarah sekolah saya imani. Perintah sekolah untuk siswa agar memakai baju adat saat Hari Kartini juga saya turuti tanpa banyak bertanya.

Namun seiring bertambahnya usia yang diikuti pula oleh bertambahnya jumlah referensi sejarah yang saya baca, saya mulai berani menawarkan pertanyaan,”Kenapa harus dan hanya Kartini? Dan kenapa bukan yang lain?”

Cina atau Tionghoa?: Meralat Stereotype

Saya terlahir dalam budaya Jawa yang lumayan kental, meski, nyatanya, salah seorang kakek saya ada yang non Jawa. Ia terlahir dengan mata sipit dengan kulit kuning langsat yang cerah. Para tetangga lebih suka memanggilnya, ‘Cina’.


Sampai saya SMP, saya tidak pernah tahu kenapa dia dipanggil begitu. Hanya saja Kakek berikut anak-anaknya tidak pernah nyaman dengan sebutan tersebut. Baru menginjak usia SMP saya sadar kenapa Kakek tidak nyaman. Bagi Kakek, Cina berarti bukan pribumi. Dan bukan pribumi berarti orang asing. Masalahnya adalah, siapa sih yang mau diasingkan?

Resolusi: Meubah Sebuah Tahun

Saya selalu gusar ketika ditanya teman-teman di kampus, apa yang akan saya lakukan demi menyambut Tahun Baru. Saya bilang, saya belum pernah memiliki ritual khusus untuk menyambutnya. Lagipula itu hanya sebuah tanggal 1 Januari. Tidak berbeda dengan 1 Februari ataupun 1 April.


Dan memang, rasanya sangat sulit menemukan sesuatu yang bernilai dari perayaan Tahun Baru di sini. Maksud saya, apa yang bisa kita dapat dari membakar ratusan kembang api, beramai-ramai pergi ke café, tempat karaoke, atau club, atau sekadar keluar jalan-jalan ke pusat keramaian, lalu mendapati esok paginya sebagian besar dari kita terlambat bangun untuk Shalat Subuh, pergi ke Sekolah Minggu, atau pergi sembahyang ke Vihara? Tidak ada, saya kira.