
Beberapa sahabat saya sering memersoalkan tentang kenapa saya jarang pulang padahal rumah relative dekat meski berada di luar Surabaya. Dan setahu mereka, tidak ada yang perlu saya apeli di sini saat akhir pekan tiba.
Itulah satu-satunya kabar baik yang bisa saya sampaikan saat ini setelah lama tak menulis di notes (sejak dari PPL di Kediri).
Kabar baiknya, masih ada teman-teman yang peduli dengan saya. Ini saya golongkan sebagai kabar baik karena tidak banyak orang yang begitu peduli dengan jadwal pulang orang lain. Setidaknya, mereka menanyakan itu karena tak banyak yang bisa dibahas dari saya -yang tidak memiliki kehidupan yang begitu penting.
Masalahnya adalah, terakhir saat tiga minggu yang lalu saya pulang, saya mendapati diri saya harus mau berbagi sinetron dengan ibu karena Tv di rumah memang hanya ada satu. Saya pun belingsatan. Bukannya antipati terhadap karya anak bangsa sendiri. Saya hanya selalu merasa dibodohi dengan program kejar tayang itu. Beda dengan ibu, beliau yang senantiasa memegang kunci surga dengan kakinya itu tak pernah rela jika saya tiba-tiba memindah channel ke stasiun berita. Daripada nanti nggak dikasih kunci surga, pikir saya, ada baiknya jika saya masuk ke dalam kamar dan kembali bermain Plant Vs Zombie via notebook. Pada akhirnya, saya pun dikalahkan oleh sinetron -bukan oleh dr. Zomboss.
Dalam kasus ini, mungkin saya bakal dibilang import oriented mengingat saya tidak pernah keberatan jika diajak kakak melihat Goo Jun Pyo cs. Setidaknya serial Korea memiliki alur konflik dan pemeran yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Dan kalau pun ada pemeran yang menjadi pesakitan, mereka tidak pernah digambarkan sebagai individu yang lemah. Bukannya apa-apa, saya hanya berusaha menjaga diri. Anda tahu, orang Indonesia mudah menyukai cerita sinetron sebab banyak tokoh tampan dan cantik yang menderita. Semakin menderita si tokoh utama, semakin tinggi rating sinetronnya. Saya kira Cinderella akan keluar sebagai juara jika ia dicalonkan oleh partai apa pun sebagai kandidat presiden dalam pemilu-pemilu yang kita selenggarakan. Saya tak mau ikut terbawa cerita semacam itu dan menerima cinderella ataupun bawang putih yang lemah sebagai Presiden.
Faktanya, Presiden kita, anda tahu, rupanya beliau agak sepaham dengan saya soal ini. Beliau benar-benar paham selera masyarakat Indonesia. Hingga saya kira dia justru mengambil banyak hikmah dari cerita sinetron dalam negeri yang monoton. Di sana, setidaknya ada dua ruas yang saling menyeimbangkan yang membuat sebuah cerita seolah tak bisa diselesaikan dalam satu season. Satu sisi protogonis, yang satu lagi antagonis. Yang baik sangat baik dan yang jahat sangatlah jahat. Kalau pun ada pihak ketiga, biasanya hanya diisi oleh peran banci atau peran ala Srimulat yang tugasnya hanya diledek atau digoda. Peran pihak ketiga sangat disarankan untuk dimunculkan ketika konflik dirasa terlalu menekan pemirsa.
Dan tentu saja, jika benar kata orang-orang bahwa pak Presiden suka bercitra layaknya pemeran sinetron, dia pasti tidak akan mau menjadi pemeran pihak kedua, apalagi ketiga. Itu jika beliau ingin mendapat simpati rakyat Indonesia. Oleh sebab itu juga, jangan terlalu protes jika beliau lebih suka curhat daripada harus menghujat meski itu untuk penjahat politik yang secara birokrasi masih ada di bawahnya. Ingat, sebagai pemeran protogonis dia harus selalu tampak santun meski itu kepada lawan politiknya. Dan jangan pula terlalu berharap berbagai masalah di negeri ini bisa cepat selesai. Sebab, bisa jadi kita harus menunggu hal itu terjadi pada season kesepuluh atau bahkan keseratus. Setidaknya, ini adalah cerita jilid kedua yang ia perankan.
Saya kurang menyukai sinetron bukan semata lantaran tidak menyukai produk dalam negeri. Sikap saya ini justru merupakan usaha untuk menjaga diri dari pengaruh kurang baik (jika tidak mau dikatakan buruk) tayangan tersebut. Katakan saja, saya kurang suka melihat orang yang terlalu sering curhat namun beragenda pidato. Jika melihat orang seperti itu, saya berani menebak, orang itu pasti hobi melihat sinetron. Atau jika ada ibu-ibu yang sering menangis ketika melihat sinetron, saya pun akan berseloroh, dia pasti sudah sering melihat pidato presiden. ^^
Sinetron membuat saya menjauhi ibu meski itu hanya ketika opera sabun itu tayang. Tapi sebenarnya bukan sinetron juga yang membuat saya jarang pulang. Saya jarang pulang, karena saya sering lupa jalan pulang. ^^ (jayuz.com)
Syah, Surabaya
Itulah satu-satunya kabar baik yang bisa saya sampaikan saat ini setelah lama tak menulis di notes (sejak dari PPL di Kediri).
Kabar baiknya, masih ada teman-teman yang peduli dengan saya. Ini saya golongkan sebagai kabar baik karena tidak banyak orang yang begitu peduli dengan jadwal pulang orang lain. Setidaknya, mereka menanyakan itu karena tak banyak yang bisa dibahas dari saya -yang tidak memiliki kehidupan yang begitu penting.
Masalahnya adalah, terakhir saat tiga minggu yang lalu saya pulang, saya mendapati diri saya harus mau berbagi sinetron dengan ibu karena Tv di rumah memang hanya ada satu. Saya pun belingsatan. Bukannya antipati terhadap karya anak bangsa sendiri. Saya hanya selalu merasa dibodohi dengan program kejar tayang itu. Beda dengan ibu, beliau yang senantiasa memegang kunci surga dengan kakinya itu tak pernah rela jika saya tiba-tiba memindah channel ke stasiun berita. Daripada nanti nggak dikasih kunci surga, pikir saya, ada baiknya jika saya masuk ke dalam kamar dan kembali bermain Plant Vs Zombie via notebook. Pada akhirnya, saya pun dikalahkan oleh sinetron -bukan oleh dr. Zomboss.
Dalam kasus ini, mungkin saya bakal dibilang import oriented mengingat saya tidak pernah keberatan jika diajak kakak melihat Goo Jun Pyo cs. Setidaknya serial Korea memiliki alur konflik dan pemeran yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Dan kalau pun ada pemeran yang menjadi pesakitan, mereka tidak pernah digambarkan sebagai individu yang lemah. Bukannya apa-apa, saya hanya berusaha menjaga diri. Anda tahu, orang Indonesia mudah menyukai cerita sinetron sebab banyak tokoh tampan dan cantik yang menderita. Semakin menderita si tokoh utama, semakin tinggi rating sinetronnya. Saya kira Cinderella akan keluar sebagai juara jika ia dicalonkan oleh partai apa pun sebagai kandidat presiden dalam pemilu-pemilu yang kita selenggarakan. Saya tak mau ikut terbawa cerita semacam itu dan menerima cinderella ataupun bawang putih yang lemah sebagai Presiden.
Faktanya, Presiden kita, anda tahu, rupanya beliau agak sepaham dengan saya soal ini. Beliau benar-benar paham selera masyarakat Indonesia. Hingga saya kira dia justru mengambil banyak hikmah dari cerita sinetron dalam negeri yang monoton. Di sana, setidaknya ada dua ruas yang saling menyeimbangkan yang membuat sebuah cerita seolah tak bisa diselesaikan dalam satu season. Satu sisi protogonis, yang satu lagi antagonis. Yang baik sangat baik dan yang jahat sangatlah jahat. Kalau pun ada pihak ketiga, biasanya hanya diisi oleh peran banci atau peran ala Srimulat yang tugasnya hanya diledek atau digoda. Peran pihak ketiga sangat disarankan untuk dimunculkan ketika konflik dirasa terlalu menekan pemirsa.
Dan tentu saja, jika benar kata orang-orang bahwa pak Presiden suka bercitra layaknya pemeran sinetron, dia pasti tidak akan mau menjadi pemeran pihak kedua, apalagi ketiga. Itu jika beliau ingin mendapat simpati rakyat Indonesia. Oleh sebab itu juga, jangan terlalu protes jika beliau lebih suka curhat daripada harus menghujat meski itu untuk penjahat politik yang secara birokrasi masih ada di bawahnya. Ingat, sebagai pemeran protogonis dia harus selalu tampak santun meski itu kepada lawan politiknya. Dan jangan pula terlalu berharap berbagai masalah di negeri ini bisa cepat selesai. Sebab, bisa jadi kita harus menunggu hal itu terjadi pada season kesepuluh atau bahkan keseratus. Setidaknya, ini adalah cerita jilid kedua yang ia perankan.
Saya kurang menyukai sinetron bukan semata lantaran tidak menyukai produk dalam negeri. Sikap saya ini justru merupakan usaha untuk menjaga diri dari pengaruh kurang baik (jika tidak mau dikatakan buruk) tayangan tersebut. Katakan saja, saya kurang suka melihat orang yang terlalu sering curhat namun beragenda pidato. Jika melihat orang seperti itu, saya berani menebak, orang itu pasti hobi melihat sinetron. Atau jika ada ibu-ibu yang sering menangis ketika melihat sinetron, saya pun akan berseloroh, dia pasti sudah sering melihat pidato presiden. ^^
Sinetron membuat saya menjauhi ibu meski itu hanya ketika opera sabun itu tayang. Tapi sebenarnya bukan sinetron juga yang membuat saya jarang pulang. Saya jarang pulang, karena saya sering lupa jalan pulang. ^^ (jayuz.com)
Syah, Surabaya
hahaha
BalasHapusaku selalu suka tulisan ini. selalu tampak fresh pas masuk otak. kocak
saya akan selalu berusaha membuat yang rumit bisa diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana ^_^
Hapusterimakasih...
like this bro...
Hapus