Di dunia ini, kawan tahu, segala hal yang ada di bawah matahari, pastilah memiliki rasa takut terhadap sesuatu. Seorang rektor takut tidak mendapat SK dari menteri; menteri khawatir terkena reshuffle dari presiden; presiden gerah dengan demo mahasiswa; sedang mahasiswa sendiri cemas dengan rektor yang bisa saja menaikkan biaya kuliahnya.
Hal terakhir di atas tersebut, bisa jadi adalah jenis kekhawatiran yang selau merangsek masuk dalam fikiran mahasiswa setiap tahun ajaran berganti. Ketakutan, apapun bentuknya, seringkali menimbulkan chaos atau kekacauan –minimal kekacauan dalam batin. Hal ini dikarenakan tipikal dari ketakutan itu sendiri yang bersumber pada ketidak jelasan suatu objek. Kita takut dengan hantu sebab kita tidak bisa melihatnya sehingga kita cenderung membayangkan wujud-wujud yang mengerikan yang ada dalam otak kita.
Kita takut mati sebab kita tidak tahu pasti kapan kita mati –dan apakah setelah mati kita pasti tidak dimasukkan dalam neraka. Ketakutan yang lain yang mungkin bisa kita ambil contoh dengan dampak kekacauan lebih besar karena memiliki efek masa adalah saat harga BBM dipastikan naik namun tidak ada keterangan kapan kebijakan itu dieksekusi. Anda bisa melihat fenomena panic buying ada di mana-mana tidak lama setelah isu kenaikan harga BBM dihembuskan.
Kita takut mati sebab kita tidak tahu pasti kapan kita mati –dan apakah setelah mati kita pasti tidak dimasukkan dalam neraka. Ketakutan yang lain yang mungkin bisa kita ambil contoh dengan dampak kekacauan lebih besar karena memiliki efek masa adalah saat harga BBM dipastikan naik namun tidak ada keterangan kapan kebijakan itu dieksekusi. Anda bisa melihat fenomena panic buying ada di mana-mana tidak lama setelah isu kenaikan harga BBM dihembuskan.
Namun tentu saja kita tak bisa melulu menyamakan kenaikan harga kuliah dengan kenaikan harga BBM atau jenis ketakutan lain yang juga disebabkan oleh suatu kenaikan. Jika harga BBM bisa naik-turun mengikuti harga pasar dunia, maka harga kuliah naik (dan seringkali tidak bisa turun) mengikuti keputusan RAPIM Universitas yang diikuti seluruh level pimpinan kampus: mulai dari ketua jurusan, dekan! C sapai rektor. Hal ini dikarenakan kenaikan biaya kuliah harus selalu berdasar kebutuhan yang sedang diperlukan oleh instansi tersebut untuk melengkapi sarana dan prasarana. Dan yang paling tahu segala kebutuhan kampus secara spesifik tentu saja adalah ketua jurusan. Kebutuhan jurusan pendidikan bahasa inggris tentu berbeda dengan kebutuhan jurusan pendidikan biologi. Karena berbeda, maka nilai (harga) kebutuhan tersebut pasti juga tidak sama satu sama lain. Dengan alibi tersebut kita diharap maklum bahwa nilai kenaikan biaya SPP tiap jurusan di UNESA mulai angkatan 2011 nanti ada yang Rp 500 ribu dan adapula yang Rp 1 juta (SPP mahasiswa reguler 2011 antara Rp 1 juta- Rp 1,5 juta).
Semacam hantu, generalisasi kedua jenis nominal biaya tambahan kampus tersebut berpotensi konflik bukan hanya disebabkan nilai tambahnya yang tinggi (100% dan 200%) namun juga kurang transparan-nya distribusi dan alokasi dana tersebut. Berulangkali dimintai keterangan oleh BEM fakultas maupun kelompok mahasiswa yang membentuk asosiasi independen, pihak birokrasi kampus cenderung berkelit dan hanya memaksakan opini bahwa kenaikan sudah harus dieksekusi untuk perbaikan kualitas pendidikan kampus. Tapi jika benar kenaikan dibutuhkan untuk peningkatan biaya pendidikan, kenapa kenaikan harus dibebankan pada biaya praktikum bukan pada SDP/SOM? Dan lagi, generalisasi tersebut terlampau general mengingat ada beberapa jurusan yang tidak memerlukan praktikum dalam proses studinya namun tetap mengalami kenaikan SPP. Karena itulah, meski kanaikan hanya dibebankan pada calon mahasiswa baru, gerakan protes sudah mulai menyebar di kalangan mahasiswa berstatus quo. Mereka bergerak atas dasar moral dan ketakutan –takut jika kenaikan biaya itu tidak tepat sasaran.
Kebijakan Absurd
Dalam keberlangungan organisasi besar yang dinamakan UNESA, sebagai mahasiswanya, terus terang saja kita sebenarnya sering “kecolongan”. Mulai dari penetapan BLU UNESA hingga kenaikan biaya kuliah, mahasiswa seolah telat untuk tahu. Sadar-sadar ternyata semua sudah ditetapkan dan kita tinggal melihat bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak banyak merubah apapun yang negative di kampus ini: AC ruang kelas di beberapa jurusan masih sering dibiarkan rusak, toilet kotor, dosen kurang professional, karyawan bagian administrasi tidak ramah, hingga masih adanya pungutan administarsi seperti halnya legalisir yang entah untuk apalagi uang itu dipungut dari mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri. Semua masih berjalan seperti tak tersentuh.
Kita memang memiliki BEM Universitas yang memiliki status quo untuk masuk dan mempengaruhi (meski tidak terlalu kuat) kebijakan-kebijakan tersebut. Namun ORMAWA tersebut pun seolah selalu terlambat mensosialisasikan apa-apa yang harusnya mahasiswa tahu. Kita bahkan sering tidak tahu manfaat sebenarnya dari lembaga berdana milyaran rupiah pertahun tersebut untuk mahasiswa. Anda tahu, kita juga berhak setidaknya atas UU kebebesan mendapatkan informasi yang ditandatangani sendiri oleh Presiden Republic ini. Dan nampaknya menurut mereka kita lebih baik tidak tahu, ternyata. Toh, misalnya dalam kenaikan SPP tahun ini, kebijakan tersebut hanya membebani calon mahasiswa baru –bukan ita(W3C/div>
Kita memang tidak perlu tahu apapun yang tidak rasional. Anda tahu, itu hanya akan menjadi penyakit hati. Kita tidak perlu tahu kenapa pacar kita tiba-tiba memutuskan kita meski kita sudah berbuat baik padanya. Kita juga tidak perlu tahu kenapa anggota dewan bersikeras menghamburkan banyak uang untuk kunjungan ke luar negeri dan gedung baru sementara keuangan rakyatnya sendiri masih carut marut. Dan dengan status mahasiswa pun, sepertinya kita tetap tidak perlu tahu, bahwa apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak birokrat kampus, kita tetap tidak bisa menemukan dampak positive dari sana. Percayalah, itu semua dapat menjaga diri anda dari sakit hati.
Mendengar itu, seorang sahabat mencibir,”Ngawur!”
Seperti mendadak bijak, dia lalu berkata,”Cari dan sampaikanlah kebenaran meski itu sakit rasanya.”
Entahlah, apa kita perlu terinspirasi oleh kebijaksanaan sahabat tadi untuk kemudian melakukan sesuatu. Atau kita cukup sekadar manggut-manggut tanda faham seraya alfa dalam bertindak. Anda tahu, birokrasi yang absurd sangatlah menyukai jenis sikap mahasiswa yang kedua. Dan dalam republic yang nampaknya semakin liberal ini, kita berhak bersikap apa saja termasuk menjadi apatis sekalipun.(*)
Syah, Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar