Airport

Baru saja kupejamkan mata. Saat aku membukanya, aku baru tersadar bahwa banyak yang akan aku rindukan setelah ini. Aku ingat saat pertama kali masuk kuliah, ketika pertama kali bertemu denganmu: sebuah ruangan bernama T4.03.11, 12 Sepetember 2007. Sweater hitam dengan bawahan accent blue jeans. Aku hanya melihat bahumu saat mendengar nama Berliana Galuh dipanggil yang kemudian diikuti oleh acungan tangan kananmu. Dalam satu undian, kamu sekelompok denganku. Dan hei, aku jadi punya nomer ponselmu. Aku pun mengajakmu keluar pertama kali pada malam rabu menjelang akhir semester 1. Apa kamu sadar, Lian? Aku belum pernah segugup itu berhadapan dengan seseorang. Bahkan sampai hari ini, belum kutemukan rasa gugup yang sama dengan waktu itu. Yah, ada kekuatan di wajah kamu yang selalu bisa membuatku kehilangan kemampuan berbahasa saat menatapnya. Ah, dasar Jelek...


Kuedarkan sekali lagi pandangan ke sekeliling ruangan, memperhatikan orang-orang yang sibuk dengan tas-tas besar sambil sesekali melihat jam tangan yang melekat di lengan kanannya. Orang-orang ini, mereka seperti akan pergi jauh dan terlihat tidak terbiasa dengan jadwal yang tertunda. Mereka gelisah lantas sesekali mendatangi petugas yang bersangkutan. Kembali duduk. Sebentar kemudian mendatangi lagi penjaga loket untuk sekadar bertanya, kapan pesawat akan berangkat? Singapore delayed: tulisan di papan elektronik itulah yang menjadi alasan kegelisahan mereka.

Aku sendiri melihat arloji yang dulu kamu belikan sebagai tanda kita sudah berdamai. Aku hanya berusaha tak yakin bahwa kamu benar-benar tak ingin melihatku untuk terakhir kali sebelum akhirnya kita berpisah dalam waktu yang cukup lama. Ponselku, kamu tahu Lian, terus terisi oleh pesan singkat ucapan selamat tinggal dari para sahabat. Namun tidak ada satupun yang dari kamu. Di bandara ini, aku menunggumu.

Kamu: seperti sudah menjadi suatu kebiasaan, masih saja seperti dulu, selalu sulit ditemui meski hanya untuk beberapa detik sebelum aku melakukan perjalanan jauh. Sampai datangnya hari ini, setelah yang aku katakan padamu kemarin. Aku mengajukan beasiswa ke luar negeri. Pengajuan itu lolos dan aku akan mulai melanjutkan magisterku di Okinawa International University, Oktober nanti.

“Sayang sekali.” Katamu sore itu dengan melipat senyum yang terlihat dipaksakan. “Padahal kita baru saja akrab lagi.”

Aku sengaja tak memberitahumu soal kepergian ini dari awal. Aku hanya tak yakin, apakah kamu perlu tahu tentang kabar semacam itu. Tidak ada ikatan khusus yang bisa menjadi alasan kamu harus tahu. Kita bukan teman dekat yang sering berbagi cerita di setiap sore sepulang kuliah. Pun kita bukan sepasang kekasih yang selalu merasa harus tahu keadaan satu sama lain. Kita berdua hanya kebetulan sekelas, dan entah mulai kapan dan kenapa kita tak pernah saling menyapa.

“Kamu ingat Lek, sudah berapa lama kamu tak menyapaku?” tanyamu.

“Tidak. Tapi aku ingat siapa yang lebih dulu bersikap dingin.”

“Kamu.” Suara kita hampir berbarengan, saling menunjuk. Kita lalu tertawa sebab hal itu terasa lucu.

“Kamu tak menyapaku sejak semester tiga.”

“Aku tak menyapamu sebab kamu tak menyapaku.

“Aku cewek, Jelek.  Kamu harus nyapa duluan...”

Memang. Aku dalam posisi duduk sementara kamu jalan turun dari tangga lantai 2 kampus.”

“Aku tahu kamu selalu pura-pura tak melihatku.” Kamu mulai manyun. Aku hanya tersenyum melihat tingkahmu.

Suasana mendadak menjadi benar-benar hening. Hal seperti ini sering terjadi saat kita sudah mulai kehabisan ide untuk diributkan. Seolah tak ada yang mengerti arti diam satu sama lain. Atau, mungkin kita hanya pura-pura tak peduli, tak ingin malu hati sebab rasa yang selalu muncul begini. Kita memang tak pernah mau saling mengalah.

Aku pasti akan merindukan pertengkaran lucu seperti ini.” Ucapku sambil bermain busa latte dengan sedotan warna ungu.

Kamu hanya diam. Aku menggenggam kedua tanganmu. Kamu masih diam. Aku mengecup keningmu. Wajahmu serupa bayi yang bingung, namun masih diam.

”Aku sayang kamu, Jelek.”

Semua terjadi begitu cepat dan kita sama-sama tidak menyiapkan diri untuknya. Suasana semacam ini tentu jarang bisa terjadi pada dua orang yang lebih sering bertengkar daripada bicara.

“Kamu tahu Lek, kamu adalah cowok terjahat yang pernah aku kenal...” kedua kelopak matamu yang biasa berbinar mulai sembab,”Kamu bilang sayang ke seseorang justru di saat yang sama usai kamu pamitan mau pergi jauh?

“Aku berangkat besok siang sekitar jam 12,” kataku, masih dengan menggenggam tanganmu ”Kalau kamu ada waktu, ikutlah mengantar. Aku pasti akan menunggumu sampai detik terakhir sebelum melewati gate.”


Selanjutnya, di kedai dekat taman kota itu, tak ada lagi yang bisa kita bicarakan keculai tentang apa-apa yang kita ucapkan dengan gaya masing-masing untuk menutupi rasa kikuk.

Singapore check in: Tulisan di papan elektronik itu semacam tanda bahwa aku sudah harus segera menyiapkan passpor dan tiket di tangan. Untuk terakhir kalinya aku masih mencoba menoleh ke belakang. Dan aku memang tak boleh terlalu berharap, ternyata. Lagipula aku menunggumu hanya untuk sesuatu yang tak terlalu penting. Aku hanya ingin mengatakan apa yang belum sempat aku katakan padamu kemarin sore. Bahwa jika kembali nanti, ada seseorang yang ingin sekali aku temui untuk pertama kalinya saat tiba. Orang istimewa itu, tentu saja adalah kamu.

Memasuki gate, paspor, tiket, boarding-pass, serta kartu imigrasi aku berikan pada petugas. Aku menuju apron sebuah pesawat yang akan terlebih dahulu transit ke Changi-Singapura sebelum akhirnya menurunkanku di bandara Naha, Okinawa.

Lian, pasti akan ada banyak hal yang aku lewatkan setelah meninggalkan kota ini. Kamu akan menjadi seorang guru yang cantik dan menggenapi mimpi kedua orangtuamu. Tak lama setelah itu, kamupun menemukan pria baik yang dengan segala kebaikannya itu memutuskan untuk meminangmu. Hanya pesanku, tolong jangan memintaku berjanji untuk tidak cemburu saat hari itu terjadi.
***

New message

Sender: Lian Jelek
02.34 p.m



Masih belum kupahami percakapan kita kemarin…

Entah kenapa rasa darimu selalu begini. Ada yg mendadak, entah apa, mendekat tanpa permisi. Dan aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa karena tak pernah ada semacam perjanjian, ucapan, atau apalah kau menyebutnya, yg membuatku mungkin bisa mengamuk padamu lalu merasa sah saja sebab rasa abai yg terus kau kirimkan. Karena itu, mana mungkin aku datang ke bandara tanpa ingin memukulimu sambil terus trenyuh oleh 2 perasaan yg bercampur aduk akibat kata-katamu senja kemarin, marah dan entah satunya lagi apa.

Maka dari situ kuputuskan untuk kutunggu saja momen itu sampai kamu kembali, 2 th lagi, tanpa harus membuatmu cedera sebelum naik pesawat hari ini. Dasar Jelek… ^^



Di depan pintu pesawat, aku hanya bisa tersenyum akibat  membaca pesan singkat yang tak begitu singkat  darimu. Dasar Jelek...


.

3 komentar:

  1. hebat....aku menemukan pencerita yang sangat menjunjung tinggi suasana....lanjutkan kawan......

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf mas, kemarin tidak jadi datang ke acara bedah buku sama launching cafenya. mendadak tidak ada yang bisa gantikan saya ngajar. waduh, jadi melewatkan acara penting. nanti kalau ada lagi, tolong jangan kapok ngundang saya. hehehe

      Hapus